PAPUAtimes
PAPUAtimes

Breaking News:

   .

Sabtu, 24 Desember 2016

Papua Beri Contoh Indahnya Kebersamaan, Remaja Masjid Bantu Pengamanan Misa Natal

04.28.00
ilustrasi
TIMIKA - Puluhan pemuda dan remaja masjid akan membantu pengamanan misa dan kebaktian Natal 2016, di gereja-gereja di Kota TimikaPapua.
Ketua Panitia Hari-hari Besar Islam (PHBI) Kabupaten Mimika, Laitam Gredenggo, di Timika, Sabtu, mengatakan mengutus 84 orang pemuda, remaja dan para ustadz untuk bersama-sama elemen lainnya mengamankan perayaan Natal 2016 di gereja-gereja di Timika.
Kehadiran relawan dari berbagai agama untuk membantu pengamanan ibadah Natal di Timika itu dikoordinir oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Mimika.
"Kami mengutus 84 orang pemuda, remaja masjid beserta tokoh-tokoh umat Islam untuk membantu pengamanan perayaan Natal dan Tahun Baru. Penempatan mereka di titik-titik mana saja semua akan diatur oleh FKUB," kata Laitam.
Laitam mengatakan sudah merupakan kebiasaan di Timika dimana setiap perayaan hari-hari besar keagamaan semua umat beragama mengambil bagian terutama dalam hal pengamanan.
"Dari dulu di Timika sudah seperti ini. Kalau hari raya Natal dan Paskah, yang bertugas mengamankan di gereja-gereja yaitu kami dari Islam, Hindu dan Budha. Demikianpun sebaliknya kalau hari raya Lebaran maka teman-teman Katolik dan Protestan serta Hindu dan Budha yang membantu pengamanan," ujar Laitam.
Dengan adanya sikap saling hormat-menghormati dan saling menghargai seperti itu, Laitam berharap semangat toleransi antarumat beragama di Mimika terus terjalin dengan baik.
"Kami seluruh umat Islam di Kabupaten Mimika siap mendukung penuh pengamanan perayaan Natal dan Tahun Baru. Kami juga mengucapkan selamat Natal kepada saudara-saudara kami kaum Nasarani," kata Laitam yang merupakan tokoh Muslim Kabupaten Mimika kelahiran Fakfak itu.
Sekretaris Daerah Mimika Ausilius You meminta semua komponen di wilayah itu bersama-sama menjaga keamanan, kenyamanan dan ketertiban selama perayaan Natal hingga Tahun Baru 2017.
"Kami harapkan suasana Natal dan Tahun Baru di Mimika kali ini aman dan damai," ujarnya.
You mengingatkan agar tempat-tempat hiburan malam tutup total mulai Sabtu ini hingga Senin (26/12/2016).
Sementara itu gereja-gereja di Kota Timika sudah mempersiapkan diri melaksanakan ibadah perayaan Natal sejak beberapa hari sebelumnya.
Di Gereja Katedral Tiga Raja Timika dan Gereja St Stefanus SempanTimika, panitia menambah tenda di halaman gereja untuk menampung umat yang akan mengikuti Misa Malam Natal pada Sabtu malam dan Misa Hari Raya Natal, Minggu (25/12/2016).
Di Gereja Katedral Tiga Raja Timika, misa Malam Natal berlangsung dua kali yaitu pada pukul 17.00 WIT dan pada pukul 20.00 WIT. (ANTARA)

Sumber : http://www.tribunnews.com/
Read More ...

Senin, 12 Desember 2016

Kumandangkan Trikora, Harusnya Dulu Soekarno Kena Pasal Makar dan Penghasutan

18.18.00
Presiden pertama Indonesia, Soekarno. (IST - SP)
JAKARTA—Atas dikumandankannya Tiga Komando Rakyat (TRIKORA), di Alun-Alun Utara Yogyakarta pada 19 Desember 1961 untuk membubarkan Negara West Papua yang baru berumur 19 hari Soekarno telah melanggar hukum yakni pasal makar dan penghasutan pada saat itu.
Demikian dikatakan, Sekertaris umum KNPB Pusat, Ones Suhuniap dalam surat elektroniknya kepada suarapapua.com, selasa (12/12/2016) siang melalui pesan elektronik dari Jayapura, Papua.
Ones mengatakan, seharusnya Sukarno dikenakan pasal makar dan penghasutan. Karena, menurutnya Sukarno dengan sengaja telah mengajak dan meminta warganya untuk melakukan kejahatan luar biasa terhadap rakyat papua. Dan faktanya masih dirasakan hingga kini.
“Kita Setelah deklarasikan manivesto Politik Papua Barat pada 1 desember 1961 sebagai bangsa yang sedang dipersiapkan untuk menuju berdirinya sebuah negara melalui proses dekolonisasi. Tetapi baru umur 19 hari Soekarno dengan nafsu kolonialismenya, dan rakus juga ambisiusnya, presiden pertama di negara kolonial itu, mengeluarkan Tri Komando rakyat di alun-alun Utara Yogjakarta,” ungkap Ones.
Dari setiap isi Trikomando itu, kata Ones, jika disimak baik ada unsur ancaman, pengakuan, penghianatan, pembohongan dan juga rancangan kejahatan.
“Isi pertama, ada kata Pengakuan oleh kepala negara yaitu bubarkan pembentukan Negara boneka buatan Belanda. Kata bubarkan adalah ancaman dan merupakan kejahatan berencana, juga penghasutan,” jelasnya.
“Isi kedua,  ada kata pembohongan yaitu kibarkan sang merah putih di Irian Barat tanah air Indonesia, padahal dalam teks proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, tidak pernah disebutkan wilayah tritorial Indonesia dari Sabang sampai Merauke Papua namun dari Sabang sampai Amboina. Papua tidak termasauk,” ungkapnya.
Lagi lanjut dia, “lalu di poin ketiga Trikora, ada kata moblisasi Merebut Irian barat. Kata rebut dan moblisasi ada rancangan kejahatan dan mengandung ancaman pembunuhan. Maka kata moblisasi kalau kita kaitkan dengan kitab KUHP berarti kena pasal penghasutan dan pasal makar,” terang Ones.
Maka, Soekarno, menurut Ones, seharusnya diadili. Karena selain melanggar pasal makar, juga telah berencana melakukan kudeta terhadap negara Papua Barat yang disiapkan oleh pemerintah belanda.
“Jadi jangan heran kalau suatu saat nanti orang papua akan punah secara sistematis, masif dan terustruktur kemudian mereka memiliki pulau papua karena Isi dari Tri komando masih berlaku dan belum dicabut
Jangan heran apabila pelanggaran HAM di papua subur seperti jamur di musim hujan,” imbuhnya.

Selain Sukarno, lanjut Ones, kata penghinaan terhadap bangsa papua pernah juga diucapkan Ali Murtopo.
“Ali Murtopo juga pernah menghina bangsa papua. Dia bilang kami merebut irian barat bukan karena mencintai masa-mas irian tetapi, kami mencintai Emas-emas Papua. Jika orang irian ingin mau mendirikan negara berati pergi ke pulau pasifik mencari pulau kosong atau minta pada Allah mereka supaya Tuhan kasih pulau kosong supaya mendirikan negara disana,” kata Ones.
Melihat watak kolonialisme dari kedua tokoh itu, Ones meminta orang papua harus bangkit untuk merebut kembali kedaulatan hak politiknya.
“Maka menurut saya isu yang pas dalam aksi demo 19 desember 2016 adalaah : Segera kembalikan hak politik bangsa Papua. Dan rakyat papua harus gugat negara atas isi komando trikora, yang merupakAn kejahatan yang dirancang itu,” pinta dia.
Isi Trikomando Rakyat tersebut adalah
1. Bubarkan pembentukan Negara Boneka buatan Belanda,
2. Kibarkan sang merah putih di Irian Barat tanah air Indonesia,
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna merebut Irian Barat dan mempertahankan kemerdekan dan kesatuan tanah air dan bangsa Indonesia. (Setevanus Yogi)


Sumber : http://suarapapua.com/
Read More ...

Tahun 2017 Kasus Paniai Harus Dikawal Lebih Ketat

18.12.00
Korban penembakan oleh aparat TNI/Polri di lapangan
Karel Gobai Enarotali Paniai 8 Desember 2014. (Ist/SP)
JAKARTA —- Marthen Goo, salah satu aktivis kemanusiaan Papua menilai belum kunjungnya penyelesaian tragedi paniai berdarah dalam kurung waktu dua tahun disebabkan karena pendekatan-pendekatan yang dilakukan negara diluar dari rasionalitas.
“Bagaimana kasus paniai mau selesai kalau negara terus bergerak diluar mekanisme dan diluar keinginan korban dan keluarga korban,” kata Marten Goo yang juga koordinator National Papua Solidarity (NAPAS), belum lama ini, di Jakarta.
Dikatakan, sebenarnya kasus tersebut dapat diselesaikan jika pemerintah pusat berkehendak mendesak institusi militer.
“Ada dua cara untuk selesaikan kasus ini. Itupun kalau pemerintah bersedia. Pertama, Presiden desak Kapolri untuk mengumumkan siapa pelaku penembakan. Dan kedua, Menkopolhukam bisa desak Kapolri umumkan siapa pelaku penembakan,” ucap dia.
Karena menurutnya, Polisi dan TNI sudah melakukan penyilidikan terlebih dahulu dari Komnas HAM dan lembaga-lembaga lain.
Namun, lanjut dia, malah negara terkesan berusaha menskenariokan itu dalam formal juridis.
“Tujuannya adalah mau menghilangkan pelaku penembakan seperti kasus Abepura Berdarah,” katanya.
Lanjut dia, “untungnya masyarakat Paniai Cerdas, jadi tuntutan mereka jelas. Polisi harus umumkan pelaku, kemudian mereka minta pihak luar datang untuk melakukan Investigasi,” ucapnya.
Maka, dia menilai, semua dinamika yang diciptakan Negara selama ini, hanya bertujuan untuk menipu orang Papua.
Padahal, sambungnya, Jokowi sudah bilang kasus HAM Paniai ini akan diselesaikan di depan masyarakat yang ikut Natal bersama pada tahun 2014 lalu. Namun sampai saat ini, pernyataan seorang Presiden itu, ternyata hanya menipu rakyat Papua.
“Hal yang sama dengan Wakil Presiden, dimana, dengan Enaknya Wakil Presiden berkata “jika mereka melakukan perlawanan, ya, harus dilawan. Pernyataan Presiden dan Wakil Presiden seperti ini, sangat melecehkan martabat manusia Papua,” urainya.
Lalu lanjutnya lagi, “Sekarang menkopolhukam berkoar-koar mau selesaikan kasus pelanggaran HAM, tapi pelanggaran HAm tetap jalan terus. Kasus Paniai saja, tidak ada tahapan kongkrit yang dilakukan,” ucap dia.
Sehingga dia berharap, semua pihak dapat mengkawal kasus Paniai Berdarah dengan ketat agar korban tidak dipermainkan. Dan lebih bagus lagi kalau kasus HAM Paniai digantung, dari pada orang Papua ditipu dan dilecehkan oleh Negara dengan Skenario Hukum yang dibelokan seperti kasus Abepura Berdarah.
“Masa Abepura Berdarah itu statusnya Pelanggaran Ham Berat, tapi tidak satu pelaku pun yang dijerat hukum. Itu tindakan pelecehan besar terhadap orang Papua,” pinta dia. (Stevanus Yogi)
Read More ...

Jumat, 02 Desember 2016

'Papua Saudara Kami', Dukungan Untuk Pendemo Papua di Jakarta

10.53.00
Para pendemo Papua di Jakarta, sebagian menggunakan atribut
bintang kejora, yang sering digunakan organisasi Papua merdeka.
Polisi menyemprotkan meriam air dan sejumlah aktivis sempat ditahan menyusul aksi sekitar 100 orang di Jakarta dan berbagai kota lain di Indonesia pada tanggal 1 Desember, hari yang diperingati setiap tahun untuk mengangkat tuntutan kemerdekaan Papua.
Aksi polisi ini segera mengundang banyak reaksi dari media sosial berisi dukungan terhadap para aktivis yang turun ke jalan di Jakarta ini dan untuk pertama kalinya melibatkan warga non-Papua.
Tagar Papua, #KamiIndonesia dan #WestPapua populer melalui Twitter dengan kicauan antara lain dari akun Jakarta tolak reklamasi @saveJKTbay yang menulis, "Papua saudara kami, mereka layak menentukan hidup mereka dan seperti kami menetukan pengelolaan Teluk."



"Demokrasimu cuma buat segelintir orang dan NKRImu itu jargon kejam!," cuitan DhyCat @purplerebel sementara Dandhy Laksono -videografer Ekspedisi Indonesia Biru- menulis, "Pemuda-pemuda Papua sedang ditangkapi di Jakarta karena menyalurkan aspirasi politik. Mestinya ini saat yang tepat membuat parade Bhinneka."
"Secara statistik, jumlah retweet yang saya peroleh untuk isu Papua langsung terjun bebas dibanding posting soal Jakarta," lanjut Dandhy mengacu pada isu Gubernur nonaktif Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok dengan rencana demonstrasi lanjutan pada Jumat, 2 Desember.

Papua hanya ingin haknya

Dalam aksi di Jakarta, sejumlah aktivis menggunakan atribut bintang kejora, bendera yang selalu dikibarkan oleh kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka setiap tanggal 1 Desember.





Pengamat Papua, Amiruddin al-Rahab mengatakan turunnya para aktivis di Jakarta menunjukkan upaya anak-anak muda yang ingin menggunakan ruang demokrasi yang terbuka saat ini.
"Teman-teman muda Papua itu mau menggunakan ruangan itu dengan berdemonstrasi di Jakarta... ternyata belum memberi ruang yang cukup untuk teman-teman Papua," kata Amiruddin -yang pernah menjadi anggota tim penelitian Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI.
"Dalam situasi seperti ini ya teman-teman Papua berusaha terus dan pihak pemerintah bisa belajar dari situ sehingga mereka tak reaktif," tambahnya mengacu pada langkah penahanan sejumlah aktivis yang sempat diciduk sebelum dibebaskan.
Penahanan sejumlah aktivis juga dilaporkan terjadi di Yogyakarta.
Langkah aparat ini juga menjadi perhatian sejumlah pengguna media sosial, termasuk Jeffar Lumban Gaol yang menulis, "Kenapa suara orang Papua tak didengar, baru bicara hak asasi langsung dibungkam.," dan Bongabonga Rhapsody, "Ketika perbedaan jadi momok, persatuan jadi jargon omong-kosong. Yang dianggap berbeda dengan kita langsung ditindas. Papua hanya ingin haknya!"
Amiruddin al-Rahab menyatakan pemerintah perlu membentuk tim komunikasi agar aspirasi anak-anak muda Papua didengar.
"Ada tiga langkah yang bisa diambil. Pertama Presiden perlu membuat tim komunikasi sehingga aspirasi anak muda bisa didengar...juga ada persoalan pembangunan harus dideklarasi dengan baik sehingga dan menimbulkan kecemasan dan yang ketiga masalah HAM di masa lalu ini harus ditangani. Bila ini diambil mungkin ada suasana baru sehingga ada komuinikasi. Kalau tak dibuka (komunikasi) akan jadi persoalan di jalanan," kata Amin.
Read More ...

Rabu, 02 November 2016

Orang Non Papua Terus Kuasai Kota Wamena

15.20.00
Ruko di Jl. Trans Irian Pikhe, Kampung Likino Distrik Hubukiak,
Kabupaten Jayawijaya. (Foto: Ronny - SP)
Wamena — Orang non Papua terus menguasai kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, dengan membangun toko dan kios yang dulunya hanya terpusat di kota Wamena, kini terus kuasai hingga ke pinggiran kota Wamena.
Fenomena ini terlihat dari perkembangan dan penyebaran kios dan toko yang sangat cepat di beberapa sudut di Kota Wamena terutama wilayah yang menghubungkan dengan wilayah luar kota, bahwa kios atau ruko milik para pedagang non Papua semakin banyak mengikuti perkembangan kota ke arah pinggiran kota Wamena.
Daerah Barat Wamena, jalan Homhom Moai distrik Hubikiak merupakan salah satu areal yang perkembangannya begitu pesat. Pada tahun 2005 silam wilayah ini masih tertutup hutan lebat, kios-kios hanya terlihat di sekitar pertigaan Jalan Homhom Moai dan Jalan Trans Irian. Tetapi kini ruko dan kios terus dibangun hingga jarak sekitar 3 Km ke arah luar kota.
Sedikitnya 350-an lebih kios dan ruko berjejeran di pinggiran jalan distrik Hubikiak, hampir semuanya milik para pedagang migran. Hal serupa juga tampak di sudut kota Wamena lainnya, di sebelah utara, sekitaran pasar Sinakma, kampung Honelama maupun arah distrik Napua, Kabuaten Jayawijaya.
Rosin, salah seorang pemilik kios di Sinakma mengakui, ia sudah menempati ruko tersebut sejak tahun 2012 dengan cara kontrak tahunan dari pihak TNI sebagai pemiliknya.
“Saya masih nona sudah tempati ruko itu. Tentara semua yang punya tanah ke atas itu dan kita kontrak. Sekarang sudah pindah ke rumah sendiri dan ada ruko lagi. Ruko lama juga tetap (pakai),” kata Rosin, salah seorang pemilik dan pengontrak Ruko dari oknum TNI di Wamena kepada suarapapua.com pada Rabu (2/11/2016).
Pendudukan migran disertai ruko dan kios juga terjadi di sebelah timur kota Wamena yaitu distrik Wouma dan selatan kota Wamena yaitu di wilayah Distrik Wesaput dan sekitarnya.
“Wesaput itu dari kali Baliem sampai dekat bandara sini kios-kios itu orang pendatang punya semua. Itu mulai banyak baru-baru ini tahun 2014 ke sini. Kali Baliem sudah ada jembatan itu nanti mereka bangun di sebelah lagi itu,” kata Logo, warga distrik Wesaput yang ditemui media ini.
Melihat kondisi tersebut, ia khawatir, kedepan tidak ada peluang bagi orang asli Papua (OAP) untuk berdagang sebagai mata pencaharian demi memenuhi kebutuhan hidu.p
“Ini bahaya orang pendatang dorang kuasai terus ini, kita mau buka usaha, tapi mereka kuasai terus makin banyak. Jadi susah sekali,” kata Logo.
Senada juga dikemukakan warga asli Papua lainnya, Adam Wenente. Menurutnya, pemberdayaan masyarakat asli Papua hanyalah proyek yang datang dan pergi, numpang lewat, selalu dinyanyikan oleh oknum-oknum di Pemerintahan tanpa ada hasil yang nyata.
“Buktinya, semua perdagangan dikuasai pendatang, pinang pun mereka (pendatang) jual, minyak, tanah, bensin, kayu bakar, lalu pemberdayaan itu mana? Pemerintah Distrik di luar kota ini juga tidak tegas, harusnya bikin aturan supaya jangan terus menyebar keluar,” kata Adam.
Terpisah, seorang tokoh wilayah adat Wio yang menjadi pusat pembangunan kota Wamena, Elgius Lagoan mengatakan, masyarakat asli wilayah adat suku Wio sejak lama tergeser ke pinggiran karena pembangunan pemerintahan di Jayawijaya bermula di wilayah adat tersebut.
“Padahal kami yang punya ulayat di sini belum memiliki hak ulayat sepenuhnya di kota ini. Kami semua ada di pinggiran kota, itu yang sering terjadi sedikit kecemburuan diantara masyarakat, khusus untuk suku Wio,” tutur Elgius.
Terkait penyebaran pedagang migran di Kabupaten Jayawijaya, Elgius Lagoan mengatakan, sudah seharusnya para pihak pemangku kepentingan di daerah ini memikirkan keseimbangan dalam hal berdagang maupun aktivitas pembangunan lainnya antara orang Papua dan para migran.
“Jadi, tidak harus monopoli oleh warga pendatang, bikin ruko dan sebagainya. Kita harap itu ada keseimbangan. Yang jelas sangat kita khawatir karena dengan adanya pergeseran, maka kami rakyat disini akan terancam,” katanya.
Elgius Lagoan yang juga anggota komisi A DPRD Jayawijaya ini menegaskan, pemerintah perlu mengambil tindakan segera untuk melindungi masyarakat maupun hak ulayatnya yang tersisah ini sebelum habis total.
“Saran kepada pemerintah, tempat-tempat yang tersisa ini kita buat semacam Perda begitu untuk melindungi hak ulayat masyarakat dan aktivitas ekonomi OAP supaya jelas,” ujar Elgius. (Ronny)
Read More ...

Kitab Suci, Rohaniwan dan Penjajahan di Papua

15.14.00
Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp)
Oleh: Mbagimendoga Uligi
Rohaniwan yang memikul Kitab Suci sedang menghambur-hamburkan ayat-ayat Kitab Suci tanpa makna Teologi di Papua. Para Rohaniwan mengutip ayat-ayat Kitab Suci untuk memuji-muji pemerintah, menginjak-injak jemaatnya dengan cara mengajak jemaat tunduk kepada pemerintah.
“Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah, dan pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah,” khotbah para Rohaniwan mengutip surat Paulus kepada Jemaat di Roma (Rm 13:1-3) di media-media lokal di Papua sejak 50 tahun lalu.
Soalnya, sejak kapan Allah menetapkan pemerintahnya di Papua? Apakah benar pemerintah Indonesia di Papua ditetapkan Allah? Apa indikator pemerintah Indonesia di Papua suatu pemerintahan yang ditetapkan Allah? Pemerintah yang ada suatu penetapan Ilahi adalah satu omong kosong para Rohaniwan. Rohaniwan asal mengutip dan mengajar surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma ini untuk Jemaat di Papua.
Karena asal mengutip, seorang Rohaniwan yang mestinya bertugas mengajak dan menuntun jemaatnya keluar dari lingkaran setan kekuasaan yang menindas dan membunuh malah mengajak jemaat menerima perilaku pemerintah yang barbar. Rohaniwan lanjut mengutipnya begini: “Sebab itu, barang siapa yang melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah, dan barang siapa yang melakukannya akan mendatangkan hukuman atas dirinya.”
Kutipan ini jelas-jelas sang Rohaniwa menutup mata dengan pembunuhan orang Papua atas nama penerapan hukum Negara kesatuan Republik Indonesia di Papua. Pembunuhan atas keutuhan Negara dianggap lebih penting daripada keutuhan Jemaatnya. Keutuhan perpuluhan imbalan dari khotbahnya lebih penting daripada keutuhan Jemaatnya. Keberlanjutan pendudukan dengan bedil dianggap lebih penting daripada penghabisan umat Tuhan.
“Khotbah yang mementingkan perpuluhan itu wajah Gereja yang memeras dan menjajah umat Tuhan atas nama iman. Rohaniwan menjual ayat-ayat Kitab Suci,” ujar Yulaghap Yuwukha.
Rohaniwan macam ini kalau dibaca dalam kerangka kitab Perjanjian Lama: Nabi-nabi murni dan nabi-nabi palsu atau nabi pemerintah. Nabi murni dan pemerintah sangatlah beda dari asal usul hingga kepentingan dari khotbahnya. Nabi-nabi murni muncul secara alami. Tidak ada pengangkatan atau pelantikan sebagai nabi. Kehidupannya bisa saja sama seperti masyarakat lain. Kerja kebun dan mengurus keluarganya. Kemudian menyampaikan ilham dengan situasi sosial politik dan keagamaan yang berlangsung kepada masyarakat.
Nabi-nabi pemerintah adalah nabi-nabi yang dilantik dan diakui pemerintah supaya menafsir dan mendoakan sesuai dengan kepentingan pemerintah. Karena itu, Rohaniwan macam ini yang dibawa-bawa untuk mendoakan acara-acara pemerintah. Mereka menyampaikan khotbah-khotbah sesuai dengan kebutuhan pemerintah.
Kita kembali ke Surat Paulus. Para Rohaniwam memang sangat tidak salah mengutipnya surat sang Rasul. Hanya, para Rohaniwan ini mengutip ayat itu tanpa melihat konteks Rasul Paulus menulis surat itu kepada Jemaat di Roma. Rohaniwan mengutip ayat itu begitu saja, lalu memuntahkannya kepada Jemaat. Jemaat yang aman dengan Kitab Suci mengamininya atau menolaknya, namun tidak pernah tunjukkan penolakannya.
Supaya kena konteks, para Rohaniwa mestinya membaca ayat itu dalam konteks jemaat Kristen di Roma atau membacakannya dalam konteks Jemaat Kristen di Papua. Kalau bicara konteks Jemaat Roma, waktu itu Jemaat di Roma berada dalam tekanan pengejaran dan pembunuhan dari orang Yahudi dan orang Roma yang tidak beragama Kristen maupun konflik internal komunitas Yahudi yang menganut Kristen waktu itu.
Karena itu, dalam konteks itu, Paulus menulis surat untuk mengajak Jemaat Roma tetap beriman kepada Yesus dengan nasehat-nasehatnya. Ia menasehati supaya tetap melihat Injil sebagai kekuatan Allah yang menyelamatkan, bukan hukum Yahudi atapun pemerintahan yang berkuasa. Paulus menekan saling melayani dalam kerendahan hati sebagai orang-orang yang percaya kepada Yesus.
Ketika menafsir ayat pilihan kaum penjajah itu, Teolog asal Belanda, Groenen OFM mengatakan, memang ayat itu menjadi nasehat Paulus soal hubungan orang percaya dengan Negara, yang dinilai cukup positif. Penilaian positif menjadi penekanan utama dan mesti dimengerti dalam kerangka teologi Paulus dalam Surat Roma.
Sudah tersirat jelas, menurut Gronen, Teologi Paulus dalam Surat Roma dapat dirumuskan “melalui pewartaan Injil semua orang berdosa dibenarkan Allah karena percaya kepada Yesus”. Percaya terhadap misi Yesus historis maupun imanen. Misi Yesus historis sudah jelas memperjuangkan pembebasan manusia. Yesus berjuang membebaskan manusia dari egoisme menguasai dan memeras yang terjadi dalam pemerintahan kekaisaran Romawi yang berkuasa ketika Yesus memperjuangkan pembebasan.
Ketika berbicara konsep suatu Negara, Agustinus, Uskup Hipo, dalam bukunya “City Of God”, menguraikan konsep Negara dan hubungan pemerintahan dan rakyat. Agustinus membedakan negara menjadi dua: negara Surgawi dan negara Duniawi. Agustinus mengatakan, negara Duniawi diperintah oleh manusia. Manusia memimpin dan memerintah penuh dengan keegoisan, kebencian, kejahatan, dan peperangan.
Konsep sebaliknya, Agustinus menggambarkan negara Surgawi dipimpin dan diperintah oleh Allah. Allah memimpin dan memerintah negaranya penuh kebijaksanaan, keadilan, kebenaran dan kedamaian. Singkatnya, negara Surgawi diperintah Allah dengan cinta dan pelayanan, serta negara sekular diperintah oleh manusia penuh kebencian demi cinta dirinya.
Kalau begitu, apakah negara Surgawi itu identik dengan lembaga Gereja tempat para Rohaniwan mengadu nasib dan negara Duniawi itu identik dengan lembaga negara pemerintah? Agustinus tidak mempersoalkan konsep kedua negara sebagai lembaga organisasi Gereja dan politik, melainkan sebagai cara hidup. Cara hidup yang ditunjukkan oleh manusia pertama, Adam dan Hawa, Kain dan Habel, yang kemudian diwariskan kepada kita. Kita menerima dan meneruskan warisan itu dalam hidup kita sebagai manusia yang mencintai kejahatan dan kebaikan. Kejahatan sebagai hakikat dari negara sekular dan kebaikan sebagai negara surgawi.
Penggambaran itu menjadi jelas kalau hubungan pemerintah Indonesia dan Jemaat di Papua sudah negatif dengan kejahatan Negara sebagai satu cara hidup, apa artinya para Rohaniwan mengajak jemaat tentang ketaatan terhadap pemerintah? Apakah hubungan positif para Rohaniwan yang makmur dan sejahtera harus menjadi ukuran Jemaat yang menderita, yang punya hubungan negatif harus tunduk kepada pemerintah? Ataukah Jemaat harus menderita demi hubungan positif Rohaniwan dengan Negara?
Penulis adalah tukang angkat barang di pelabuhan Port Numbay, tinggal di Hollandia.

Sumber : www.suarapapua.com

Read More ...

Rabu, 26 Oktober 2016

Negara-negara Pasifik Mengecam Provokasi Korut

12.43.00
Korea Utara dikecam negara-negara Pasifik. --tempo.co
Busan – Negara-negara Kepulauan Pasifik mengecam Korea Utara karena aksinya yang terus menerus memprovokasi penggunaan misil nuklir di kawasan Pasifik. Kecaman tersebut disepakati dalam pertemuan Korea-Pacific Islands Senior Official Meetings (SOM) yang berlangsung di Busan, Selasa (25/10/2016).
Para perwakilan negara dalam pertemuan itu mengadopsi pernyataan ketua sidang yang mengecam tindakan Korea Utara untuk pertama kalinya. Pernyataan itu juga menekankan pembangunan senjata nuklir Korea Utara dan misil balistik di kawasan Pasifik itu mengancam keselamatan nyawa manusia di negara-negara Kepulauan Pasifik.
Mereka juga sepakat mendukung resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 2270 yang dikeluarkan pada Maret lalu yang mengecam Korea Utara atas uji coba pengayaan senjata nuklir yang dilakukan Korea Utara pada Januari awal tahun ini.
Pertemuan tersebut dihadiri oleh perwakilan 14 negara kepulauan Pasifik, termasuk Papua Nugini, Fiji dan Kepulauan Solomon.
Dalam sidang Majelis Umum PBB bulan lalu, hanya Palau yang mengutuk aksi Korea Utara ini. Perwakilan Palau di PBB, Caleb Otto mengatakan bahwa perdamaian dan stabilitas keamanan jangka panjang adalah hal paling penting untuk dijaga di Pasifik. “Kami mengajak kepada seluruh negara yang belum meratifikasi traktat non-proliferasi untuk segera meratifikasi, agar kita bisa lebih cepat melucuti senjata nuklir di muka bumi,” ujarnya. (*)
Read More ...

Continuing Restrictions on Free Expression in West Papua

12.42.00
UNPO conducted an interview with Aprila R.A. Wayar on her experiences as a journalist carrying out her profession in West Papua. Wayar was born in West Papua and grew up in Java. After graduating from the local university in Java, she returned to West Papua to work as a journalist. Her personal experiences shed light on the restrictions of the freedom of opinion and expression frequently experienced by local and foreign journalists in West Papua.
As the experiences by Ms Wayar reveal, journalists working in West Papua are limited in their freedom of expression out of fear of legal and social sanctions if they openly display their genuine opinions. She emphasizes that “as a journalist in West Papua, I cannot express to people around me what is truly going on.” Such self-censorship, which generally arises from fear of violence and harassment by public officials as well as from social condemnation of pro-independence sentiments, often provokes journalists to conceal their political views. Journalists who do report from the Papuan perspective while opposing those of other people, Wayar points out, are often condemned for being separatist or labelled pro-independence. In addition to social denouncement, journalists that have reported on sensitive political topics as well as persons interviewed by journalists have often been subject to physical violence as well as murder and kidnapping.
Foreign journalists have additionally been subjected to foreign media restrictions. Even though a 25-year ban on foreign media that prevented foreign journalists from entering West Papua was lifted last year, “the ban was lifted only on paper,” Wayar reveals.  She points out that the Indonesian government and security forces continue their efforts to impede foreign media access. Foreign journalist that have uttered critical political views have been placed on visa-blacklists. In 2015, Cyril Payen for example, a reporter for France 24 television, faced a visa ban after having produced a documentary that was condemned for generating pro-independence sentiments. Furthermore, journalists that have managed to get a visa to report on West Papua have been subjected to monitoring of their activities in the area, which might influence the content of their news reports. Such control that government officials have over journalists might produce a lack of news stories that cover multiple sides, including those of people that are critical of government policies. The result of such restricted foreign media access is, Wayar argues, that the international community including those who promote the human rights of the West Papuan people are insufficiently aware of the local issues experienced by Papuan people. 
Raising awareness of the challenges that indigenous peoples in West Papua face is crucial for enacting change in the area, Wayar emphasizes. Papuan people run the risk of losing their identity: “in 2050, there will be no Papuan people left.” She points out that the age-old history of Papua and its unique culture is being lost because it is not transferred to the next generation. Instead, a new ‘history’ is taught that ignores Papuans’ indigenous culture and promotes an Indonesian flavored story. Additional challenges that Papuan people face are widespread immigration from foreigners as well as poverty and insufficient access to education and health care, which is only accessible for those living in large cities. In order to generate improvements of the living and social conditions of the Papuan people, Wayar argues, the marginalization of indigenous peoples needs increased national and international awareness. As such, the profession of journalism and the safe performance thereof might be of crucial importance for the wellbeing of the people in West Papua.

Sumber : www.unpo.org
Read More ...

ISBI Papua Harus Angkat Ikon Budaya Papua

12.41.00
Perahu Wairon tampil dalam karnaval World Culture Forum
di Bali dua pekan lalu - Dok. Jubi
Sentani – Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Papua mendapatkan kesempatan ikut karnaval dalam rangkaian World Culture Forum  yang berlangsung di Bali pada tanggal 10 sampai 14 Oktober lalu. Kesempatan ini sangat disyukuri oleh dosen dan mahasiswa ISBI.
“Kami bersyukur karena kampus ISBI Tanah Papua mendapat sambutan meriah dari turis manca negara dan kontingen lainnya. Kami juga diminta oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk tampil di salah satu museum dan menteri mengatakan akan datang ke kampus kami ISBI Tanah Papua,” kata Erik Rumbrawer, satu dari sekian dosen yang terlibat dalam karnaval tersebut.
Erik Rumbrawer juga salah satu pendesain kapal “Wairon” yang diikutkan dalam karnaval.
“Masih banyak nilai-nilai budaya orang asli Papua yang belum diangkat. Nenek moyang atau orang tua kita, mereka tinggalkan nilai-nilai budaya, agar generasi sekarang ini dapat mengenal budaya sendiri,” kata dosen jurusan Seni Rupa ini saat ditemui Jubi di Kampus ISBI, Waena, Selasa (25/10/2016).
Ia mencontohkan, banyak anak muda sekarang yang tidak tahu lagi rumah adat atau alat musik tradisional dari daerahnya masing-masing.
Erik mengatakan, ISBI Tanah Papua harus mengangkat ikon nilai-nilai budaya Papua
“Misalnya, saya diminta oleh rektor ISBI untuk mendesain satu perahu yaitu perahu “Wairon“. Dengan demikian, saya memperkenalkan perahu Wairon kepada banyak orang. Perahu itu adalah perahu dagang yang dulu di pakai oleh nenek moyang kita sampe ke Ternate, Raja Empat dan kepulauan yang ada di Indonesia. Mereka menjual rempah -rempah dan pala,” ujar Erik.
Rektor ISBI Papua, Prof. Dr. I Wayan Rai, S.MA saat di hubungi melalui telepon seluler mengatakan kontingen ISBI Papua sangat mencuri perhatian dalam karnaval yang diselenggarakan di daerah asalnya itu.
“Dalam kegiatan karnaval yang diikuti 16 negara itu ISBI Tanah Papua mendapat kesan yang sangat baik dari khalayak di sana dan dari peserta lainnya. Papua sangat mencuri perhatian ,” ungkapnya. (*)
Read More ...

Kejati Papua Didesak Usut Dugaan Suap 12 Miliar di Pelabuhan Depapre

12.40.00
Demo Masyarakat Adat Depapre, Kabupaten Jayapura
 di Kejati Papua, Selasa (25/10/2016) - Jubi/Arjuna Pademme
Jayapura - Sedikitnya 50 an masyarakat adat Depapre, Kabupaten Jayapura melakukan demo damai di Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua, Jalan Anggrek No.06 Tanjung Ria, Base G, Kota Jayapura, Selasa (25/10/2016).
Massa yang tergabung dalam Dewan Perwakilan Masyarakat Hukum Adat Tyatiki Lingkungan Hidup Tanah Merah Kabupaten Jayapura mendesak Kejati Papua mengusut dugaan suap dalam pembangunan Pelabuhan Peti Kemas di Depapre.
Koordinator aksi,  Karel Demetouw dalam orasinya mengatakan, studi kelayakan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk pengeringan atau reklamasi laut seluas 33,7 hektar diduga palsu lantaran tak melibatkan ondoafi dan masyarakat adat pemilik hak ulayat.
"Ini laut adat, dan dilindungi dengan norma hukum adat. UU menjamin itu. Kami masyarakat adat menuntut hak kami. Kami minta kepastian kapan para koruptor ini ditangkap. Negara ini punya kepastian hukum bukan negara rekayasa hukum. Ada dugaan suap senilai 12 miliar lebih dan perjanjian bagi hasil 10 persen hanya kepada lima orang," kata Karel.
Menurutnya, masyarakat pemilik laut adat meminta pemerintah membayar ganti rugi senilai Rp500 miliar. Pemerintah dianggap tak melibatkan masyarakat adat. Akibatnya kini terumbu karang yang selama ini berusaha dijaga masyarakat adat rusak. Ikan dan biota laut lainnya sudah banyak yang musnah.
"Selain itu pengadaan tanah pelabuhan peti kemas seluas 24 hektar juga kami duga palsu. Pada 2008 lalu, Pemkab Jayapura dalam hal ini Dinas Perhubungan dan Pemprov Papua melakukan rapat gelap.  Tanah mana yang akan dijual. Jangan-jangan tanah tempat kami tinggal juga. Kami tak pernah dilibatkan dalam hal ini," ucapnya.
Katanya, sudah ada dua alat bukti untuk kejaksaan mengusut dugaan suap dalam pembangunan pelabuhan peti kemas itu. Pihaknya tak melarang pembangunan, namun ingin agar hak-hak masyarakat adat dihargai agar tak terlindas pembangunan.
"Kami akan terus mencari keadilan jika Kejati Papua dan Kejari Jayaura tak mampu memberikan kami keadilan," katanya.
Massa juga menuntut pelabuhan peti kemas Depapre Kabupaten Jayapura dinyatakan ditutup karena dua alat bukti yang dimiliki massa menunjukkan pembangunan pelabuhan itu tak sah menurut hukum.
Sementara Wakil Kajati Papua, Abdul Azis yang menemui pendemo mengatakan, menerima aspirasi massa. Namun ini tak segampang membalikkan telapak tangan.
"Bapak-bapak sudah lapor ke Kejari Jayapura, nanti kalau bagaimana prosesnya atau ada kurang akan ditambah karena akan diperiksa satu persatu. Harus memenuhi unsur. Kalau korupsi ada uang negara yang dipakai, pelakunya siapa. Kalau di Kejari tak selesai baru kami tindaklanjuti," kata Abdul Azis.
Menurutnya, di pengadilan butuh alat bukti. Kalau misalnya suap, suapnya dalam bentuk apa. Siapa yang menerima, siapa yang memberi, dimana dan kapan.
"Kalau dibilang ada dua alat bukti, itu apa. Berikan kepada Kejari. Kalau Kejari tak sanggup kami tindaklanjuti. Tapi tak seperti membalikkan telapak tangan. Kalau bapak-bapak mau masalah ini segera selesai, tolong bantu kami. Jelaskan. Siap yang jadi saksi. Jangan katanya-katanya," ucapnya.
Setelah mendengar mendengar berbagai penjelasan dari Wakajati Papua, massa akhirnya membubarkan diri dengan tertib. (*)
Read More ...

Latest NewsShow More >>